Partai politik Indonesia adalah lembaga politik yang paling tidak dipercaya di negara ini. Kombinasi politik elitis dan kehadiran bisnis dan kelompok kepentingan lain yang mengakar di tingkat tertinggi pemerintahan membuat partai politik sulit berfungsi sebagai penjaga demokrasi Indonesia.
Yang terbaru jajak pendapat oleh lembaga survei Indonesia, Indikator politik Indonesia, menunjukkan bahwa partai politik merupakan lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat paling rendah di Indonesia. Peringkat 54 persen “moderat (kepercayaan)” partai politik jauh lebih rendah dari kepercayaan publik Indonesia terhadap Tentara Nasional Indonesia (TNI) (peringkat 93 persen) dan Presiden (peringkat 85 persen).
Rendahnya kepercayaan publik terhadap partai politik di Indonesia ini dapat dikaitkan dengan dua tren yang sudah berlangsung lama, yaitu: Politik oligarki dan kartel partai. Yang pertama dicirikan oleh keberadaan oligarkiyang memiliki kekayaan dan kekuasaan dan cenderung mempengaruhi hasil politik, termasuk sebagai pemimpin atau pemegang kekuasaan terkemuka di partai politik tertentu.
Jika partai-partai oligarki bergabung dengan koalisi pemerintahan, perwakilan mereka kemungkinan besar akan bersaing untuk mengontrol pembuatan kebijakan di dalam badan-badan pemerintah. Sayangnya, Presiden Joko Widodo (“Jokowi”) telah membuka jalan bagi oligarki ke dalam politik sejak 2014. Misalnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (politisi senior Golkar dan Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan kawan seperjuangan Jokowi pada 2014). ) dan baron media Surya Paloh (Ketua Partai Nasional Demokrat atau Nasdem) telah bergabung dengan lingkaran dalam Jokowi.
Pada periode kedua Jokowi, oligarki semakin mengakar. Prabowo Subianto (Pemimpin Partai Gerindra) adalah Menteri Pertahanan, Luhut Pandjaitan (Politisi Senior Golkar) adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, sedangkan Airlangga Hartarto (Pemimpin Golkar) adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Oligarki ini menggunakan partai politiknya untuk menciptakan “kartel partai” yang praktiknya mempengaruhi politik Indonesia dalam dua cara yang berbeda.
Kartel-kartel ini terbentuk lebih dulu besar koalisi terdiri dari tujuh dari sembilan partai politik besar di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menciptakan supermayoritas legislatif. Koalisi ini telah berhasil mengesahkan setidaknya tiga RUU kontroversial dalam tiga tahun terakhir tanpa perlawanan yang berarti. Ini termasuk amandemen Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU No 19/2019) pada 2019 Omnibus Act (kemudian UU No. 11/2020) tahun 2020 dan RUU Pemindahan Ibukota Negara ke Kalimantan Timur (nanti UU No.3/2022).
Jika partai-partai oligarki bergabung dengan koalisi pemerintahan, perwakilan mereka kemungkinan besar akan bersaing untuk mengontrol pembuatan kebijakan di dalam badan-badan pemerintah.
Kedua, ada kecenderungan dalam koalisi untuk menghindari kritik dan ketidaksetujuan publik selama proses pembuatan kebijakan dengan terburu-buru melalui pengesahan RUU. Koalisi mayoritas berhasil mengesahkan undang-undang untuk memindahkan ibu kota negara hanya dalam 42 hari, membuatnya jelas Tercepat faktur dalam sejarah Indonesia disahkan oleh DPR.
Namun, elit partai mungkin memiliki kepentingan yang saling bertentangan yang terkadang memicu reaksi politik. Perdebatan baru-baru ini tentang apakah akan menunda pemilihan umum 2024 atau memperpanjang masa jabatan eksekutif dan legislatif, yang didorong oleh beberapa elit seperti pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar dan pemimpin Golkar Airlangga Hartarto, membuat marah banyak politisi oposisi, kelompok masyarakat sipil dan akademisi. Sejak Widodo dan memiliki PDIP yang dominan masing-masing ditolak dengan tegas Mengusulkan penundaan, seperti Gerindra dan Nasdem, ini merupakan potensi krisis dalam demokrasi Indonesia yang untuk sementara dapat dihindari.
Idealnya, elit Indonesia harus mempertimbangkan untuk mereformasi partai politiknya dan kembali mengabdi kepada rakyat forum komunikasi politik. Menghubungkan ide dan aspirasi masyarakat dengan perumusan kebijakan publik, daripada meminimalkan saluran umpan balik publik atau diskusi publik yang terburu-buru tentang undang-undang baru, akan jauh lebih inklusif bagi konstituen mereka.
Secara teori, partai politik seharusnyamengantar demokrasi‘ dan memegang teguh nilai-nilai demokrasi konstitusional untuk menegakkan konstitusi Indonesia, supremasi hukum, checks and balances dan stabilitas politik. Partai harus tetap setia kepada rakyat sebagai pemangku kepentingan utama dalam kedaulatan suatu negara, sambil bertindak seperti itu kelompok penekan pada pemerintahan yang berkuasa. Memberi oligarki terlalu banyak kontrol, tidak memiliki kemauan politik untuk berkomitmen pada kontrol dan penyeimbang institusional, sementara memberikan sedikit atau tidak sama sekali ruang untuk konsultasi publik, akan menghapus peran penjaga gerbang ini, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Indonesia baru-baru ini.
Tuntutan untuk lebih banyak konsultasi publik oleh partai politik di Indonesia dapat membantu meningkatkan keterlibatan dan kepercayaan warga terhadap partai, sekaligus meningkatkan legitimasi dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun, tantangan bagi politisi oligarki Indonesia adalah mendapatkan umpan balik yang nyata tanpa menyerah pada desakan untuk hanya mendengar pandangan yang sesuai dengan agenda politik mereka, atau untuk mengambil tindakan yang pada akhirnya menguntungkan perusahaan atau kepentingan mereka daripada kepentingan Indonesia mereka.
2022/132
Komunikator. Pencandu web lepas. Perintis zombie yang tak tersembuhkan. Pencipta pemenang penghargaan
You may also like
-
Taman kanak-kanak di Indonesia yang terkena gempa dibuka kembali dengan bantuan dari Taiwan
-
Tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kegagalan UU Cipta Kerja, kata KSPI
-
Saat Indonesia berjuang untuk mendorong melalui hukum pidana baru yang ketat, Senator Markey memimpin rekan-rekannya dalam mendesak Presiden Widodo untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan melindungi kebebasan fundamental.
-
Video menunjukkan pengungsi Afghanistan memprotes, bukan “pekerja China” di Indonesia
-
Indonesia Masih Mengingkari Kebebasan Beragama Kepada Minoritas Agama – Akademisi