Aristyo Rizka Darmawan (The Jakarta Post)
BONUS
Jakarta
Kamis, 16 Desember 2021
Pada tahun 2015, Asit Biwas, saat itu profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, dan Julian Kirchherr, peneliti di Universitas Oxford, menulis sebuah opini yang sangat menggugah dan penting dalam Waktu selat berjudul “Prof, tidak ada yang membacamu”. Artikel tersebut memberikan perspektif baru tentang bagaimana seharusnya akademisi berpikir tentang diri mereka sendiri dan peran mereka dalam mengubah masyarakat.
Dalam artikel tersebut, mereka berpendapat bahwa banyak ide cemerlang dari akademisi tidak secara material mempengaruhi debat publik dan keputusan kebijakan. Ini karena para ilmuwan hanya membagikan pemikirannya dalam jurnal ilmiah yang hanya dibaca oleh rekan akademisnya.
Keduanya bahkan menunjukkan bahwa rata-rata artikel jurnal ilmiah hanya dibaca oleh sekitar 10 orang, yang hampir tidak mengubah masyarakat. Oleh karena itu, agar lebih efektif, para sarjana harus menulis lebih banyak komentar yang dibaca oleh pembuat kebijakan dan khalayak publik sehingga mereka dapat mempengaruhi wacana publik atau bahkan pembuat kebijakan.
untuk membaca cerita lengkapnya
BERLANGGANAN SEKARANG
Mulai dari Rp 55.000 / bulan
- Akses tak terbatas ke konten web dan aplikasi kami
- e-Post surat kabar harian digital
- Tidak ada iklan, tidak ada interupsi
- Akses istimewa ke acara dan program kami
- Berlangganan buletin kami
Berita serupa
Anda Mungkin Juga Menyukai:
Komunikator. Pencandu web lepas. Perintis zombie yang tak tersembuhkan. Pencipta pemenang penghargaan
You may also like
-
Taman kanak-kanak di Indonesia yang terkena gempa dibuka kembali dengan bantuan dari Taiwan
-
Tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kegagalan UU Cipta Kerja, kata KSPI
-
Saat Indonesia berjuang untuk mendorong melalui hukum pidana baru yang ketat, Senator Markey memimpin rekan-rekannya dalam mendesak Presiden Widodo untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan melindungi kebebasan fundamental.
-
Video menunjukkan pengungsi Afghanistan memprotes, bukan “pekerja China” di Indonesia
-
Indonesia Masih Mengingkari Kebebasan Beragama Kepada Minoritas Agama – Akademisi