Indonesia: Studi terbaru tentang kebakaran 2019 memicu perdebatan tentang transparansi data hutan pemerintah

JAKARTA, 22 Jan (Jakarta Post/ANN): Pemerintah membantah studi ilmiah yang baru-baru ini dirilis yang mengklaim bahwa area yang hilang akibat kebakaran hutan dan gambut pada 2019 lebih besar dari perkiraan resmi, sebuah langkah yang menurut para aktivis menebus kurangnya Keterbukaan. ke Indonesia menyoroti data dari studi independen.

Studi yang diterbitkan dalam jurnal Earth System Science Data (ESSD) pada November menemukan 3,1 juta hektar terbakar pada 2019, hampir dua kali lipat dari 1,6 juta hektar yang dilaporkan oleh Departemen Lingkungan dan Kehutanan.

David Gaveau, salah satu penulis studi, mengatakan publikasi penelitian baru-baru ini dalam jurnal peer-review mengkonfirmasi analisis awal 2019, yang memperkirakan bahwa kebakaran 2019 jauh lebih buruk daripada perkiraan resmi.

Gaveau pertama kali menyerahkan temuannya kepada pihak berwenang pada Desember 2019, tetapi yang terakhir mengatakan penelitiannya tidak memiliki kredibilitas karena belum ditinjau oleh rekan sejawat pada saat itu, lapor Reuters.

Menanggapi kajian yang baru dirilis, Kepala Kerja Sama Internasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dida Migfar Ridha dalam keterangannya, mengatakan penelitian kebakaran hutan dan gambut di Indonesia harus berbasis data.

Dia juga mengklaim bahwa Gaveau merilis laporan yang tidak akurat tentang data kebakaran hutan dan gambut di Indonesia menjelang COP25, yang berlangsung antara 2 dan 13 Desember 2019 di Madrid.

“Jika kita melihat kerangka waktu, maka [the report] dilakukan untuk melemahkan kredibilitas upaya pemerintah Indonesia dalam menangani deforestasi dan kebakaran hutan,” kata Dida dalam sebuah pernyataan.

Dida tampaknya mengacu pada perkiraan awal David bahwa 1,64 juta hektar lahan hutan terbakar antara Januari dan Oktober 2019.

READ  Shin Tae-Yong menargetkan Indonesia menjadi juara Piala AFF 2022

Pemerintah, kata Dida, menyarankan Gaveau “mencari panduan tentang praktik terbaik dalam masalah ilmiah.”

Gaveau mengatakan pemerintah, dalam hal ini Departemen Lingkungan Hidup dan Kehutanan, gagal mengakui bahwa data kebakaran terbaru untuk 2019 diperiksa dan diverifikasi secara menyeluruh melalui penilaian peer-review yang ketat sebelum dipublikasikan di ESSD.

Data tersebut, lanjutnya, menunjukkan ruang lingkup tantangan yang dihadapi pemerintah jika ingin mengurangi kebakaran hutan.

“Peristiwa kebakaran tahun 2019 menunjukkan bahwa mengurangi kebakaran tetap menjadi tantangan, terutama kebakaran yang lolos di lahan gambut yang terdegradasi, sumber kebakaran yang menghasilkan kabut asap,” kata Gaveau kepada Jakarta Post melalui email.

Dia mengatakan pemerintah Indonesia harus berbuat lebih banyak untuk melindungi lahan gambut karena telah dibuka dan dikeringkan dan bahkan diubah menjadi perkebunan akasia atau kelapa sawit.

Gaveau mengatakan para peneliti dapat mengidentifikasi lebih banyak titik panas dengan menggunakan program komputer untuk menginterpretasikan data dari satelit Sentinel-2, menghasilkan area kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan perkiraan resmi pemerintah, yang didasarkan pada interpretasi manual berdasarkan citra satelit.

Aktivis hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan bahwa transparansi data telah menjadi salah satu isu utama dalam tata kelola hutan di Indonesia, menambahkan bahwa publikasi penelitian – dan tanggapan pemerintah selanjutnya – menunjukkan bahwa pemerintah tidak siap untuk lebih terbuka daripada resmi. perkiraan telah ditantang oleh penelitian independen.

Arie menekankan bahwa penting bagi pemerintah, terutama ketika merancang kebijakan di sektor kehutanan, untuk menggunakan data yang akurat jika ingin membuat kebijakan yang terbaik, dengan alasan bahwa menggunakan data yang tidak akurat untuk menginformasikan pembuatan kebijakan akan menjadi kesalahan yang mahal. mengarah pada kebijakan yang “tidak konsisten”.

READ  Polisi penumpang yang hilang di kereta reformasi Indonesia

Direktur Forest Watch Indonesia Mufti Fathul Barri sependapat dengan Arie, menambahkan bahwa pemerintah harus lebih terbuka dan transparan ketika studi independen mempertanyakan temuannya.

Dia menambahkan bahwa pemerintah harus mulai melihat data alternatif bukan sebagai upaya untuk mendelegitimasi temuannya sendiri, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan kebijakan yang relevan. – The Jakarta Post/ANN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *