JAKARTA (THE JAKARTA POST/ASIA NEWS NETWORK) – Kepresidenan Indonesia Group of 20 (G-20) – mendorong negara-negara anggota untuk mencapai pemulihan ekonomi hijau dengan motto “Recover Together, Recover Stronger” dan menyampaikan visi Indonesia sendiri, untuk mencapai green economy dan pembangunan ekonomi rendah emisi.
Sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan (AFOLU) secara historis memberikan kontribusi terbesar dari emisi gas rumah kaca negara, sekitar 43 persen pada tahun 2016, menurut Kontribusi yang Ditentukan secara Nasional (NDC) Indonesia yang diperbarui untuk PBB.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait, termasuk tujuan ambisius untuk mengubah hutan dan jenis lahan lainnya menjadi “penyerap karbon” pada tahun 2030. Untuk mencapai hal ini, diperlukan perubahan kebijakan dan investasi yang berani di berbagai bidang, terutama untuk melindungi ekosistem kritis dan tinggi karbon seperti hutan primer, lahan gambut, dan bakau.
Indonesia memiliki kawasan dan keanekaragaman ekosistem mangrove terbesar di dunia. Mangrove mendukung mata pencaharian pesisir melalui penangkapan ikan (ikan, kepiting dan makanan laut lainnya), melindungi pantai negara dari bencana dan menyimpan 3,14 miliar ton CO2, memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global. Penelitian Bank Dunia baru-baru ini menemukan bahwa hutan bakau Indonesia rata-rata bernilai sekitar US$15.000 (S$20.880) per hektar, dengan beberapa lokasi – terutama di dekat kawasan pesisir yang berkembang – bernilai sekitar US$50.000 karena perannya dalam pertahanan banjir .
Meskipun mangrove memiliki nilai yang signifikan, namun sering hilang dan digunakan untuk tujuan lain, termasuk budidaya, pertanian, dan infrastruktur (termasuk perumahan dan pariwisata). Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir yang sebelumnya dilindungi oleh hutan bakau memiliki risiko lebih besar dari bencana pesisir seperti banjir, erosi dan badai, serta penurunan produktivitas ikan.
Konversi mangrove juga mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan ke atmosfer, yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa konversi mangrove selama dekade terakhir telah membantu melepaskan hampir 200 juta ton CO2 ke atmosfer, setara dengan konsumsi listrik lebih dari 35 juta rumah selama setahun.
Pemerintah Indonesia dengan berani berkomitmen untuk merestorasi 600.000 ha hutan bakau pada tahun 2024 – tujuan restorasi bakau terbesar di dunia hingga saat ini. Namun, pemulihannya memakan biaya — rata-rata $1.640 hingga $3.900 per hektar di Indonesia — dan memiliki tingkat kegagalan yang tinggi di seluruh dunia. Oleh karena itu, prioritas harus diberikan untuk menjaga ekosistem yang sehat daripada memulihkannya.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional Indonesia (2022), lebih dari 90 persen mangrove di Indonesia berada dalam “status baik”, menunjukkan bahwa ada ruang yang cukup untuk upaya konservasi. Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melestarikan mangrove, termasuk peluncuran Mangrove One Map untuk membantu memahami luas dan kualitas mangrove di seluruh Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengeluarkan pedoman resmi pelaksanaan pengelolaan mangrove pada tahun 2021, yang mencakup peran serta masyarakat. Upaya ini dapat dilengkapi dengan, antara lain, memperkuat kebijakan pengelolaan mangrove secara keseluruhan dan memasukkan zonasi mangrove ke dalam perencanaan tata ruang untuk menginformasikan kebijakan dan keputusan investasi, seperti B. pembangunan infrastruktur pesisir. Pemerintah Indonesia juga dapat memperluas cakupan moratorium yang ada untuk mengeluarkan izin konversi hutan primer dan lahan gambut menjadi semua jenis mangrove.
Memulihkan mangrove yang terdegradasi dapat mengembalikan fungsi ekologisnya: habitat untuk memancing, perlindungan pantai, dan banyak lagi; dan dapat memiliki dampak lokal dan global yang signifikan.
Namun, restorasi mangrove menghadirkan tantangan teknis, sosial dan ekonomi yang signifikan. Oleh karena itu, mengadopsi tiga langkah berikut sangat penting untuk meningkatkan tingkat keberhasilan. Pertama, restorasi mangrove harus berlabuh kuat dalam “pengelolaan lanskap terpadu”, yang berarti melestarikan dan memulihkannya sekaligus memperkuat ketahanan masyarakat pesisir. Pendekatan lanskap terpadu ini memerlukan koordinasi lintas sektor dengan lembaga nasional, sub-nasional dan lokal (pemerintah, LSM dan masyarakat lokal) untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pengelolaan mangrove.
Kedua, restorasi harus melampaui penanaman bibit dan mencakup pekerjaan hidrologi untuk memulihkan arus pasang surut dan memungkinkan penyebaran benih bakau dari hutan bakau terdekat. Kondisi spesifik area yang akan direstorasi, kualitas bibit, pengelolaan jangka menengah (misalnya pemeliharaan, perlindungan) dan perbaikan jangka menengah dapat meningkatkan tingkat keberhasilan.
Akhirnya, kemauan, komitmen dan komitmen pemangku kepentingan lokal untuk mengizinkan dan mendukung restorasi sangat penting dan ini membutuhkan penawaran manfaat nyata dalam jangka pendek dan menengah untuk berpartisipasi dalam restorasi dan pemeliharaan kawasan yang direstorasi. Restorasi dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap masyarakat lokal karena menciptakan hubungan antara kehidupan sehari-hari mereka dan upaya untuk melindungi lingkungan mereka. Pembayaran untuk pekerjaan padat karya dan mekanisme insentif lainnya, termasuk pembayaran karbon biru, dapat memperoleh dukungan dari masyarakat dan pemerintah lokal.
Proyek Mangrove untuk Ketahanan Pesisir yang baru-baru ini diluncurkan, didanai oleh Bank Dunia, mendukung tujuan ambisius restorasi mangrove pemerintah sambil menganut prinsip-prinsip di atas. Proyek ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan mangrove di empat provinsi prioritas sambil mengembangkan model konservasi dan restorasi mangrove terpadu dan peningkatan mata pencaharian masyarakat pesisir yang dapat direplikasi di seluruh negeri.
Pemerintah juga menerapkan kebijakan menyeluruh untuk pengelolaan mangrove, memperkuat koordinasi lintas sektoral di tingkat nasional dan lokal, dan menjajaki kemungkinan pembayaran karbon biru untuk mangrove.
Mangrove adalah sabuk hijau Indonesia – penting bagi masyarakat lokal dan nasional serta dunia. Konservasi dan restorasi skala besar memang menantang tetapi bisa dilakukan.
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah pertama ke arah ini dengan dukungan dari beberapa mitra. Mempertahankan jalur ini dalam jangka menengah akan sangat penting untuk kesuksesan.
- Penulis adalah Pakar Senior Manajemen Sumber Daya Alam di Bank Dunia. The Jakarta Post adalah anggota dari media partner The Straits Times Asia News Network, sebuah aliansi dari 23 organisasi media berita.
Komunikator. Pencandu web lepas. Perintis zombie yang tak tersembuhkan. Pencipta pemenang penghargaan
You may also like
-
Taman kanak-kanak di Indonesia yang terkena gempa dibuka kembali dengan bantuan dari Taiwan
-
Tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kegagalan UU Cipta Kerja, kata KSPI
-
Saat Indonesia berjuang untuk mendorong melalui hukum pidana baru yang ketat, Senator Markey memimpin rekan-rekannya dalam mendesak Presiden Widodo untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan melindungi kebebasan fundamental.
-
Video menunjukkan pengungsi Afghanistan memprotes, bukan “pekerja China” di Indonesia
-
Indonesia Masih Mengingkari Kebebasan Beragama Kepada Minoritas Agama – Akademisi