Dengarkan dan perhatikan dengan hati Anda, periksa dengan pikiran Anda dan libatkan dengan tangan Anda
JAKARTA (ANTARA) – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memandang konsep pendidikan agama lintas budaya cocok untuk masyarakat Indonesia yang beragam.
“Kompetensi keagamaan antarbudaya tidak menolak perbedaan atau menggabungkannya menjadi keseragaman. Sebaliknya, (dia) mengelola perbedaan melalui proses penilaian, komunikasi dan negosiasi untuk menanggapi peluang dan tantangan bersama dalam konteks lokal dan global,” kata Wakil Menteri Kehakiman dan Menteri Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej dalam pernyataan tertulis pada Perayaan Jumat.
Hiariej menjelaskan bahwa literasi dalam konteks ini tidak diukur dari keahlian atau pemahaman seseorang, melainkan dari kepekaan dimana seseorang memiliki kerendahan hati untuk mendengarkan, mengamati, memeriksa dan terlibat.
Menurut Hiariej, konsep itu bukan tentang mencampuradukkan agama, juga tidak mendorong sekularisme. Pendidikan agama antarbudaya bersifat multidisiplin, interdisipliner dan transdisipliner.
Berita Terkait: Keberhasilan DMM G20 Menarik Perhatian Internasional ke Pulau Belitung
“Dengarkan dan amati dengan hati, periksa dengan pikiran dan libatkan dengan tangan,” tegasnya.
Menurut Hiariej, konsep tersebut mendorong semua umat beragama untuk memiliki kemampuan memahami diri sendiri dan agamanya sendiri, mengenali agama atau orang lain sebagaimana mereka mengenali dirinya sendiri, dan memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain.
Dia mengatakan agama dapat menyatukan orang meskipun ada perbedaan. Itu tentang toleransi ajaran agama, jadi umat beragama harus menghargai pluralitas dan menghargai keragaman.
“Orang-orang beriman harus saling mengenal, tidak merendahkan diri, menghindari prasangka, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, tidak saling mengejek, dan hidup berdampingan,” ujarnya.
Dalam berita lain: menteri tenaga kerja G20 merumuskan lima dokumen utama
Direktur Eksekutif Badan Pendidikan Ideologi Pancasila (BPIP) Amin Abdullah mencatat, pluralisme di Indonesia bermasalah karena argumen dari kelompok ideologis konservatif, konservatif tekstual, moderat dan liberal.
Namun, tantangan terbesar justru datang dari praktiknya, yang terkait dengan aspek budaya dan aspek kesadaran publik.
Abdullah mengatakan, dengan adanya isu budaya tersebut, urgensi masyarakat untuk mengadopsi konsep tersebut semakin meningkat, terutama di sektor pendidikan. Kompetensi keagamaan antarbudaya didasarkan pada tiga aspek, yaitu kompetensi pribadi untuk memahami agama seseorang dalam hubungannya dengan orang yang berbeda.
Selain itu, kompetensi komparatif berarti memahami agama lain untuk membangun toleransi dan empati, tegasnya. Terakhir, kompetensi kolaboratif mengacu pada bekerja sama dalam mengatasi beragam tantangan di dunia yang semakin kompleks.
Berita Terkait: G20 IWG menggambar cetak biru untuk pembiayaan infratek, indikator QII
Berita Terkait: Upaya pemulihan ketenagakerjaan global dimulai di Bali pada G20 LEMM
Komunikator. Pencandu web lepas. Perintis zombie yang tak tersembuhkan. Pencipta pemenang penghargaan
You may also like
-
Taman kanak-kanak di Indonesia yang terkena gempa dibuka kembali dengan bantuan dari Taiwan
-
Tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kegagalan UU Cipta Kerja, kata KSPI
-
Saat Indonesia berjuang untuk mendorong melalui hukum pidana baru yang ketat, Senator Markey memimpin rekan-rekannya dalam mendesak Presiden Widodo untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan melindungi kebebasan fundamental.
-
Video menunjukkan pengungsi Afghanistan memprotes, bukan “pekerja China” di Indonesia
-
Indonesia Masih Mengingkari Kebebasan Beragama Kepada Minoritas Agama – Akademisi