Energy Watch pada listrik tenaga surya: “Kurangnya teknologi baterai yang terjangkau”

Energy Watch pada listrik tenaga surya: “Kurangnya teknologi baterai yang terjangkau”

TEMPO.CO, jakartaenergi Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Watch, menjelaskan, Senin, tantangan pengembangan tenaga surya di Indonesia saat ini adalah masih on-grid. Mamit berpendapat bahwa penyimpanan energi masih diperlukan untuk mengubah energi matahari menjadi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) off-grid, yang masih dianggap sebagai opsi yang mahal.

“Perangkat penyimpan energi adalah baterai. Saat ini, baterai merupakan komponen energi baru terbarukan atau EBT yang paling mahal. Padahal, batere menyumbang 50 persen dari total biaya,” ujarnya saat dihubungi, Senin, 17 Oktober 2018.

Saat ini, menurut Mamit, belum ditemukan teknologi baterai yang lebih murah. Tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara lain. Dia menyarankan bahwa pilihan baterai yang lebih terjangkau dan lebih murah yang dapat menyimpan energi yang cukup harus segera ditemukan.

“Masalah baterai itu masalahnya,” klaim Mamit.

Selain itu, kelemahan pengembangan energi surya adalah diperlukan lahan yang luas untuk memanen sumber energi tersebut. Belum lagi perawatan panel surya, yang menaikkan biaya.

“Energi juga optimal, hanya dari pukul 11.00 hingga 14.00, meski cuaca cerah,” kata Mamit.

Fadil Rahman, Direktur Perencanaan Strategis dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Power Indonesia, menjelaskan perseroan akan membangun PLTS di lebih dari 400 lokasi di seluruh Indonesia. Pembangunan direncanakan selesai dalam 1,5 tahun.

Anggaran tersebut berasal dari belanja modal sebesar $11 miliar untuk mempercepat program energi baru terbarukan (EBT). Belanja modal dijadwalkan berjalan selama lima tahun ke depan hingga 2026.

MOH KHORY ALFARIZI

Klik di sini untuk mendapatkan berita Tempo terbaru di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *