Sangat provokatif untuk membaca perspektif hukum yang ditulis oleh beberapa sarjana Indonesia untuk memberikan dasar hukum penundaan pemilu serentak di Indonesia. Beberapa pakar berusaha mengalihkan fokus dari kicauan gagasan menunda pemilu dari narasi menunda pemilu demi stabilitas ekonomi dan isu tingkat kepuasan yang tinggi terhadap presiden saat ini menjadi pendulum isu konstitusional. Beberapa konstitusionalis, dari sudut hukum tata negara, menyarankan untuk menghentikan polemik ini dengan menghadirkan alternatif exit law berupa amandemen konstitusi, baik amandemen formil, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun melalui mekanisme nonformal. yaitu meminta interpretasi dari Mahkamah Konstitusi. dalam pengujian Pasal 167 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terhadap Pasal 22 E Ayat (1) jo Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana Pasal sebuah quo menegaskan bahwa pemilihan umum yang diadakan setiap lima tahun bertentangan dengan peraturan terkait dengan keadaan memaksa yang mereka hadapi saat ini, yaitu darurat kesehatan masyarakat akibat COVID-19.
Alternatif yang diberikan tampaknya secara konstitusional mampu mengurai benang kusut polemik penundaan pemilu, namun bila dicermati, gagasan yang ditawarkan bisa jadi berbenturan dengan nilai konstitusionalisme dalam UUD 1945. Oleh karena itu, Pendapat ini mengkaji hal tersebut melalui teks UUD 1945 dan Perubahan atas UUD.
Sebuah republik terlihat seperti sebuah monarki
UUD 1945 tidak secara khusus mengatur mekanisme penundaan pemilu. Namun demikian, bukan berarti penundaan dapat diartikan diperbolehkan atau dilarang. Kedua opsi memiliki peluang untuk diakui sebagai konstitusional. Untuk alasan ini, sangat penting untuk memahami maksud awal dan untuk memeriksa mengapa menunda pilihan dilarang atau diperbolehkan.
Salah satu alasan penundaan pilkada yang dianggap tidak tepat adalah anggapanStatus quo hari ini bertentangan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semangat bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik harus dimaknai dalam satu nafas. Inilah pilihan para Founding Fathers dan Mothers untuk mengadopsi bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik.
Dalam pemerintahan republik, proses pergantian kepala negara dilakukan secara terbuka melalui proses pemilihan umum dan memiliki batas masa jabatan yang tetap, tidak tertutup seperti pemilihan garis keturunan dalam pemerintahan monarki. Konsekuensi dari adanya proses transfer kekuasaan secara terbuka adalah lahirnya sistem pemilu yang teratur. Dengan demikian, pemilu merupakan satu-satunya mekanisme hukum dan jalur ketatanegaraan dalam mengatur suatu negara sebagai negara republik, khususnya Indonesia. Oleh karena itu, pemilu harus diselenggarakan agar semangat konstitusionalisme tetap terjaga dalam bentuk pemerintahan republik.
Selain itu, Pasal 37(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa dalam mekanisme perubahan konstitusi secara formal, bentuk negara kesatuan Republik Indonesia secara khusus tidak dapat diubah. Dengan kata lain, mendorong agar pemilihan ditunda sama dengan pembangkangan konstitusional yang sebenarnya terhadap ketentuan yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri dan mengubah bentuk monarki di mana pemimpin yang berkuasa tidak memiliki masa jabatan tetap.
Pengkhianatan terhadap kesepakatan dasar untuk mengubah UUD 1945.
Sejarah perubahan konstitusi periode 1999-2002 telah menetapkan lima kesepakatan dasar dalam agenda amandemen. Kelima kesepakatan tersebut menjadi pedoman (agenda setting) ketika konstitusi perumus berubah. Kesepakatan pokok yang dilakukan panitia ad hoc adalah: 1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945, 2) mempengaruhi negara kesatuan Republik Indonesia, 3) memperkuat sistem pemerintahan presidensial, 4) deklarasi untuk UUD 1945 Termasuk UUD yang memuat hal-hal normatif. Melakukan perubahan pada Pasal 5) dengan menambahkan addendum.
Menurut Cheryl Saunders, Guru Besar Hukum Tata Negara di Melbourne University, kelima item tersebut adalah Agenda Setting, yang ditempatkan dalam Amandemen Konstitusi. Amandemen konstitusi selalu memiliki latar belakang, sejarah dan tujuan. Perubahan konstitusi Indonesia didasarkan pada aspek sejarah yang telah terjadi dan dialami di masa lalu dan reaksi terhadap praktik ketatanegaraan sebelumnya. Kesepakatan untuk mengubah UUD 1945 menjadi titik tolak untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan dalam praktik kenegaraan sebelumnya.
Salah satu kelemahan praktik ketatanegaraan sebelumnya adalah fleksibilitas penafsiran selama masa jabatan presiden. UUD 1945 bekas, istilah perubahan, bersifat multitafsir. Keadaan ini kemudian membuka peluang Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 mengangkat Presiden Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan Presiden seumur hidup, dan hal ini terulang kembali ketika Presiden Suharto mengesahkan penafsiran tidak adanya batasan tegas Masa jabatan Presiden sehingga ia memerintah sekitar 32 tahun.
KBRI dapat menjelaskan mengapa masa jabatan presiden dibatasi 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Ketentuan ini termasuk dalam Perjanjian Pokok untuk mengubah UUD 1945 dan menekankan sistem pemerintahan presidensial. Di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki masa jabatan yang tetap. Proses pemilihan presiden yang demokratis dilakukan melalui pemilihan umum, mengubah sistem pemilihan presiden tidak langsung (melalui MPR) menjadi pemilihan langsung. Oleh karena itu, Bab VIIB yang memuat Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 dibuat untuk menjamin siklus lima tahun dalam pengisian kursi kepresidenan. Oleh karena itu, penundaan pemilu mengkhianati kesepakatan mendasar dalam amandemen UUD 1945 dan nilai-nilai konstitusionalisme yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, gagasan untuk mencari penafsiran Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas penundaan pemilu adalah tidak rasional, apalagi jika hakim MK mempertimbangkan latar belakang hukum dari ketentuan pembatasan jabatan presiden dan Perjanjian Pokok amandemen UUD 1945 yang ada. Konstitusi. Bahkan jika penundaan itu bertabrakan dengan alasan urgensi. Karena itu harus mengacu pada interpretasi darurat oleh MK, dan harus diperiksa melalui uji proporsionalitas apakah penundaan pemilihan memiliki alasan yang sah (tujuan yang sah) dan apakah pergeseran akan memiliki efek positif yang lebih besar atau bahkan merugikan (minimum maksimum).
Pengabaian kedaulatan rakyat atas hak pilih.
Penegasan Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1(2). tautan Ayat (3) UUD 1945. Salah satu wujud demokrasi adalah pembagian hak pilih. Gagasan penangguhan saat ini mengurangi hak untuk dipilih. Selain itu, penyelenggara pemilu telah diseleksi dan telah ditetapkan tanggal pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024.
Pemerintah dan elite politik harus mendukung kerja penyelenggara pemilu agar ke depan bisa melakukan proses pemilu nasional dan lokal secara serentak, bukan memunculkan polemik baru. Ini seperti mengatakan bahwa begitu layar mengembang, ujungnya tidak pernah surut. Ketika bangsa ini berkomitmen pada pentingnya batas masa jabatan presiden dan telah menetapkan hari pemilihan, semua hambatan dan tantangan harus diatasi dan tidak ditunda, terutama jika ditunda karena alasan yang tidak penting.
Terkait
“Ninja twitter bersertifikat. Ahli internet. Penggemar budaya pop hardcore. Baconaholic.”
You may also like
-
Subway setuju untuk menjual kepada pemilik Dunkin’ dan Baskin-Robbins, Roark Capital
-
Qatar Airways dan Airbus mencapai penyelesaian dalam kasus hukum A350 | berita penerbangan
-
Bos NatWest menolak menghadiri sidang parlemen
-
Investor Brunei berencana berinvestasi dalam proyek energi terbarukan di IKN
-
Pembuat ChatGPT OpenAI merilis alat pendeteksi konten buatan AI yang “tidak sepenuhnya andal” | Kecerdasan Buatan (AI)