Pada tahun 2015, Asit Biwas, saat itu profesor di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew di Universitas Nasional Singapura, dan Julian Kirchherr, peneliti di Universitas Oxford, menulis sebuah opini yang sangat menggugah dan penting dalam Waktu selat dengan judul “Prof, tidak ada yang membaca Anda”.
Artikel tersebut memberikan perspektif baru tentang bagaimana seharusnya akademisi berpikir tentang diri mereka sendiri dan peran mereka dalam masyarakat yang terus berubah. Dalam artikel tersebut, mereka berpendapat bahwa banyak ide cemerlang dari akademisi tidak secara material mempengaruhi debat publik dan keputusan kebijakan.
Karena para ilmuwan hanya membagikan pemikirannya dalam jurnal ilmiah yang hanya dibaca oleh rekan-rekan ilmiahnya. Keduanya bahkan menunjukkan bahwa rata-rata artikel jurnal ilmiah hanya dibaca oleh sekitar 10 orang, yang hampir tidak mengubah masyarakat. Oleh karena itu, agar lebih efektif, para sarjana harus menulis lebih banyak komentar yang dibaca oleh pembuat kebijakan dan khalayak publik sehingga dapat mempengaruhi wacana publik atau bahkan pembuat kebijakan.
Ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang seberapa relevan karya akademisi, khususnya ilmu-ilmu sosial di Indonesia, dengan masalah dunia nyata saat ini.
Setidaknya ada tiga cara agar dunia akademik dan para sarjana, khususnya ilmu-ilmu sosial, lebih relevan untuk menjawab tantangan Indonesia.
Pertama, seperti yang dikatakan Profesor Harold Koh, profesor di Yale Law School dan mantan penasihat hukum Departemen Luar Negeri, penting bagi seorang akademisi untuk memiliki pengalaman langsung sebagai pembuat keputusan senior di pemerintahan. Jadi, Anda memiliki beberapa gagasan tentang topik mana yang penting dan relevan bagi siswa yang nantinya akan praktik.
Ia bahkan mencontohkan betapa banyak akademisi yang naik pangkat menjadi pejabat tinggi pemerintah di Amerika Serikat. Ini tidak hanya membentuk pembuatan kebijakan berbasis ilmiah, tetapi juga teori di dunia akademik.
Memang, banyak menteri dan pejabat senior di pemerintahan Amerika Serikat memiliki latar belakang akademis. Joseph Nye, Ann Marie Slaughter, Janet Yellen dan Henry Kissinger hanyalah beberapa di antaranya. Mereka menjabat sebagai pejabat senior pemerintah dengan kredensial akademis yang kuat.
Setelah menduduki jabatan di pemerintahan, mereka kembali mengajar dan mengembangkan karya akademis mereka berdasarkan pengalaman mereka sebagai pejabat pemerintah. Pengalaman-pengalaman tersebut kemudian membentuk karya ilmiahnya, yang relevan dengan masalah nyata dan tidak hanya berdasarkan teori yang sulit diterapkan.
Sejak reorganisasi di bawah Suharto (1967-1998), Indonesia memiliki tradisi kuat para akademisi dan profesor yang menjabat sebagai menteri dan pejabat tinggi.
Dengan demokrasi yang kurang dan hampir tidak ada koalisi partai, Suharto memiliki kebebasan untuk memilih menteri sendiri. Oleh karena itu, para teknokrat dan akademisi dengan kualifikasi di bidang tersebut telah diisi sebagai pengambil keputusan utama.
Berkat demokratisasi, lebih banyak partai politik dan koalisi saat ini telah memaksa presiden untuk menerima politisi sebagai menteri dan pejabat tinggi, terkadang dengan pengalaman dan keahlian profesional yang minim.
Akibatnya, ada lebih sedikit profesional di bidang khusus, termasuk akademisi, daripada menteri di pemerintahan.
Kedua, seperti yang dikatakan Biwas dan Kirchherr dalam komentar mereka, lebih banyak ilmuwan sosial Indonesia harus berbagi ide-ide mereka di luar rekan akademis mereka dalam jurnal akademis. Mereka juga harus menarik khalayak yang lebih luas dan mempublikasikan penelitian mereka di media yang lebih populer yang dibaca oleh masyarakat luas dan pembuat kebijakan.
Saat ini ada lebih banyak outlet online untuk berbagi pengetahuan mereka dengan khalayak umum yang lebih luas. Dengan berbagi ide dengan masyarakat umum, mereka akan memenuhi kewajiban mereka untuk mencerdaskan bangsa.
Ketiga, civitas akademika Indonesia harus lebih menghargai kajian interdisipliner yang penting dalam menjawab permasalahan dunia saat ini.
Di dunia yang dinamis ini, sebagian besar masalah tidak dapat diselesaikan dengan satu disiplin akademik. Banyak pertanyaan dan tantangan dapat diselesaikan dengan lebih baik melalui kerja sama dan perspektif interdisipliner.
Misalnya, pandemi adalah masalah yang melibatkan profesional kesehatan, kebijakan publik, ekonomi, sosial, hukum, dan banyak disiplin ilmu lainnya. Masalah lain seperti keamanan siber, teknologi, kesehatan global, dan gender adalah beberapa masalah yang membutuhkan lebih dari satu disiplin untuk ditangani.
Oleh karena itu, diperlukan seseorang yang mengetahui pendekatan interdisipliner ini atau sekolah yang berlaku adil terhadap studi multidisiplin ini. Di banyak negara maju, seperti Amerika Serikat, ilmuwan dengan pelatihan spesialis lainnya lebih mungkin dihargai karena memberi mereka pemahaman yang lebih baik tentang masalah tertentu.
Misalnya, seseorang dengan gelar sarjana hukum dan PhD dalam kesehatan global akan lebih memahami regulasi masalah kesehatan masyarakat. Atau seseorang dengan gelar hukum dan ilmu komputer mungkin memiliki pemahaman yang lebih baik tentang keamanan siber dan perlindungan informasi pribadi. Misalkan Indonesia mempertahankan pandangan tradisionalnya tentang disiplin akademis linier ini. Ilmuwan Indonesia akan kalah bersaing secara internasional dan akan lebih sulit bagi civitas akademika untuk menghadapi tantangan masa depan negara.
Selain itu, Indonesia juga tertinggal dalam hal sekolah pascasarjana multidisiplin dengan penelitian yang lebih berorientasi pada kebijakan. Sekali lagi, ada banyak sekolah pascasarjana di banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan bahkan Singapura yang multidisiplin berlimpah. Sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih memiliki sistem fakultas tradisional. Di dalam negeri, Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran, Fakultas Ilmu Politik dan Sosial masih sangat terpisah dan jarang berbicara dan bekerja satu sama lain.
Kebijakan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi saat ini, Nadiem Makarim, Kampus Merdeka (Kampus Gratis), yang mengizinkan siswa untuk mengambil kelas di sekolah atau departemen yang berbeda, adalah awal yang baik untuk menjembatani kesenjangan antara untuk menutup interdisipliner. sistem pendidikan. Tapi tentu perjalanan masih panjang. Namun, untuk mengatasi masalah dunia saat ini dan masa depan serta membuat akademisi lebih relevan, penting bagi civitas akademika Indonesia, khususnya ilmu sosial, untuk berkontribusi dalam membentuk debat kebijakan publik dan pembuatan kebijakan di Indonesia. – The Jakarta Post / ANN
Komunikator. Pencandu web lepas. Perintis zombie yang tak tersembuhkan. Pencipta pemenang penghargaan
You may also like
-
Taman kanak-kanak di Indonesia yang terkena gempa dibuka kembali dengan bantuan dari Taiwan
-
Tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kegagalan UU Cipta Kerja, kata KSPI
-
Saat Indonesia berjuang untuk mendorong melalui hukum pidana baru yang ketat, Senator Markey memimpin rekan-rekannya dalam mendesak Presiden Widodo untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan melindungi kebebasan fundamental.
-
Video menunjukkan pengungsi Afghanistan memprotes, bukan “pekerja China” di Indonesia
-
Indonesia Masih Mengingkari Kebebasan Beragama Kepada Minoritas Agama – Akademisi