Indonesia menawarkan untuk menjadi tuan rumah pembicaraan berikutnya tentang kode etik di Laut Cina Selatan

JAKARTA (The Jakarta Post / ANN): Indonesia telah menawarkan untuk menjadi tuan rumah putaran negosiasi berikutnya antara Asean dan China mengenai Kode Etik (COC) untuk Laut China Selatan setelah pembicaraan dihentikan tahun lalu di tengah pandemi.

Tawaran itu disampaikan dalam pertemuan para menteri luar negeri 10 negara ASEAN dan timpalannya dari China Wang Yi di Chongqing, China pada Senin, 7 Juni.

Acara ini diadakan untuk menandai peringatan 30 tahun kemitraan blok tersebut dengan China. Pertemuan pada hari Senin adalah pertemuan tatap muka pertama antara perwakilan dari ASEAN dan China dalam lebih dari setahun.

Terakhir kali mereka bertemu adalah di Vientiane, Laos, pada Februari 2020, ketika China sudah dicengkeram pandemi dan beberapa negara Asia Tenggara mulai menemukan kasus pertama mereka.

Usai pertemuan Senin, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan kedua belah pihak telah membahas Laut China Selatan. Dia menyoroti pentingnya mengatasi ketegangan di perairan strategis untuk hubungan ASEAN-China.

Dia menambahkan bahwa kedua belah pihak perlu melanjutkan diskusi tentang COC dengan cepat karena kemajuan telah terhenti.

Negosiasi telah ditunda karena pejabat ASEAN dan China tidak dapat bertemu secara langsung karena pembatasan Covid-19.

“Kami berharap negosiasi ini dapat diselesaikan dengan cepat dengan hasil yang efektif dan substansial. Dalam hal ini, Indonesia siap menjadi tuan rumah pertemuan perundingan di Jakarta dalam waktu dekat,” ujarnya.

Asean berharap COC akan mencegah konflik yang meluas antara mereka yang berhak atas perairan yang kaya sumber daya dan strategis dengan menetapkan aturan dasar untuk negara-negara anggota blok itu dan China.

Banyak negara Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia, terlibat dalam sengketa wilayah di Laut Cina Selatan.

READ  Human Initiative Tuan Rumah Kongres Kemanusiaan Indonesia di HUT ke-22 - Informal

China telah membuat klaim ilegal yang luas dan dalam banyak hal atas hampir 90 persen laut. Meskipun Indonesia sendiri bukan penggugat, Indonesia menentang perampokan China ke perairan di bawah yurisdiksi ekonominya.

Pada akhir 2018, Perdana Menteri China Li Keqiang mengusulkan tenggat waktu tiga tahun untuk menyelesaikan pembicaraan COC. Sebelumnya, setelah bertahun-tahun mengalami kebuntuan politik, kedua belah pihak telah sepakat untuk mengerjakan satu rancangan teks yang dinegosiasikan.

Pembacaan pertama draft COC dilakukan pada awal Juli 2019.

Pada awal tahun 2020, kedua belah pihak merencanakan pertemuan di Brunei, Filipina, Indonesia dan China untuk pembacaan kedua, yang bagaimanapun tidak pernah terjadi karena pembatasan perjalanan pandemi.

Tahun ini para negosiator harus memulai pembacaan teks ketiga dan terakhir mereka.

Corong media pemerintah China Xinhua melaporkan bahwa perwakilan tingkat tinggi dari ASEAN dan China telah sepakat untuk melanjutkan pembacaan kedua draft terpadu teks negosiasi COC “sesegera mungkin”.

“Semua pihak telah menyatakan keyakinan mereka bahwa terlepas dari dampak epidemi, China dan ASEAN terus berkomitmen untuk implementasi penuh dan efektif dari Deklarasi Perilaku (DOC) dan pemeliharaan proses COC yang fleksibel dan pragmatis. “Laporkan pihak agensi.

Serangan China ke Laut China Selatan telah memicu ketegangan dalam beberapa pekan terakhir. Pekan lalu Malaysia memprotes penerbangan “mencurigakan” oleh 16 pesawat Angkatan Udara China di atas Laut China Selatan dekat negara bagian Sarawak, Malaysia timur.

Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan pesawat itu merupakan “pelanggaran wilayah udara dan kedaulatan Malaysia”.

Wakil Menteri Luar Negeri Malaysia Kamarudin Jaffar mengangkat masalah ini di sela-sela pertemuan pada hari Senin.

Filipina juga telah berulang kali meminta agar kapal-kapal China meninggalkan wilayah yang dikuasainya di bawah yurisdiksinya.

READ  Sekolah pribadi diizinkan kembali jika 6 persyaratan ini terpenuhi

Pada akhir Mei, negara itu memprotes “penempatan terus-menerus, kehadiran terus-menerus, dan aktivitas ilegal China” di sekitar Pulau Thitu, sekitar 451 km dari daratan.

Pulau ini adalah yang terbesar dari delapan terumbu, beting, dan pulau-pulau di Kepulauan Spratly.

China telah membangun sebuah kota mini dengan landasan pacu, hanggar, dan sistem rudal permukaan-ke-udara di Subi Reef, sekitar 25 km dari Thitu.

Retno mendorong semua pihak untuk terus mematuhi Deklarasi Perilaku (Declaration of Conduct (DOC)) yang mewajibkan negara-negara untuk melakukan “pengendalian diri”.

“Saya menegaskan kembali bahwa kemampuan kita untuk mengatur Laut Cina Selatan akan memperkuat kemitraan kita yang setara, saling menguntungkan, dan sangat diperlukan untuk perdamaian dan stabilitas global.

“Setiap langkah harus sesuai dengan Unclos 1982,” ujarnya merujuk pada United Nations Convention on the Law of the Sea, yang menjabarkan hak dan kewajiban negara-negara terkait pemanfaatan lautan dunia. – The Jakarta Post / Asia News Network

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *